Going the extra miles: Analisis SOAP dan Drug Related Problem Kasus Hipertensi

Analisis SOAP dan Drug Related Problem Kasus Hipertensi

KASUS 2
(Based on Case Study: A 49 year old african america man with stage 1 hypertension)

Seorang pasien datang ke dokter dengan keluhan sakit kerena ligamen pada lutut kirinya robek saat bermain badminton. Pasien terlihat sehat. Pemeriksaan rutin tekanan darah (diulang 2 kali) menunjukan bahwa pasien memiliki hipertensi tingkat 1. Berat badan, tinggi badan, dan BMI mengindikasikan bahwa pasien obesitas, walaupun pasien memiliki otot yang keras dan tidak menunjukkan tanda-tanda obesitas. Pasien rajin berolahraga, tidak merasakan sesak nafas, dan terlihat sehat. Pasien merokok 1 bungkus perhari sejak berusia muda dan seorang peminum moderat (sedang). Pasien tidak merasa dirinya obesitas, dia mengganggap postur tubuhnya sama seperti atlet-atlet terkenal. Dia menyadari bahwa dia harus segera berhenti merokok, dan setuju untuk melakukan pemeriksaan darah.
Penyelesaian :
A.    Subjek
Pria berusian 49 tahun
1.     Patien Medical History
-

2.     Social History
-        Pasien merokok 1 bungkus perhari
-        Seorang peminum alkohol  moderat
-        Pasien rajin berolahraga

3.     Medication History
-

4.     Physical Examination
-        TB            : 5 ft 11 in                   -     BB                         : 222 lb
-        BMI         : 31,0 kg/cm2                        -        Lingkar pinggang : 40 in
-        BP                        : 152/96 mm Hg         -     P                           : 68 bpm

B.    Objek
Data Laboratorium
Saat datang
Nilai Uji
Normal
FPG
138 mg/dL
< 100 mg/dL
Kolestrol total
219 mg/dL
146,94 - 201,08 mg/dL
LDL-c
152 mg/dL
< 100 mg/dL
HDL-c
41 mg/dl
35,1 – 93,6 mg/dL
TG
75 mg/dL
31,15 – 151,3 mg/dL



Setelah 3 bulan follow up


BP
147/91 mm Hg

FPG
96 mg/dL
< 100 mg/dL
HbA1C
6,7%
< 6,7%
TC
188 mg/dL
146,94 - 201,08 mg/dL
LDL-c
123 mg/dL
< 100 mg/dL
HDL-c
41 mg/dL
35,1 – 93,6 mg/dL
TC
72 mg/dL
31,15 – 151,3 mg/dL

C.    Assesement
Dari data yang diberikan, pasien tidak memiliki riwayat penyakit tertentu dan tidak memiliki riwayat penggunaan obat-obatan. Pasien rajin berolahraga namun memiliki kebiasaan merokok 1 bungkus perhari dan kebiasaan minum alkohol. Hasil pemeriksaan tekanan darah pasien, menunjukkan bahwa pasien menderita hipertensi tahap 1.

       Gambar 1. Klasifikasi tekananan darah pada orang dewasa (>18 tahun)
Setelah dilakukan pemeriksaan darah, kadar gula darah puasa pasien sebesar 138 mg/dL  menunjukkan pasien menderita diabetes melitus tipe 2. Kadar kolesterol total, LDL-c, dan TG yang diatas normal menunjukkan pasien juga menderita dislipidemia. Dalam kasus ini, tidak disebutkan riwayat keluarga pasien apakah ada yang menderita penyakit seperti hipertensi, diabetes, dislipidemia, CHD dan sebagainya.
Patofisiologi penyakit hipertensi pasien merupakan gabungan hipertensi primer dan sekunder dapat disebabkan oleh kebiasaan merokok dan minum alkohol, berat badan pasien yang termasuk kategori obesitas kelas I (BMI > 30), pertambahan usia, serta penyakit endokrin seperti diabetes melitus. Patofisiologi ketiga penyakit yang diderita pasien saling berhubungan satu sama lain yang diterangkan dalam gambar 2.

Gambar 2. Klasifikasi berat badan berlebih dan obesitas dari BMI, lingkar pinggang, dan resiko penyakit yang berhubungan

Menurut Dipiro (2009), pasien memang berisiko tinggi untuk tekena penyakit diabetes melitus tipe 2, hipertensi dan CHD. Selain itu menurut penelitian yang dilakukan oleh Abtahi et al (2011), kebiasaan merokok dapat meningkatkan resiko hipertensi. Pasien merokok sejak usia remaja dan dalam sehari menghabiskan 1 pack rokok perhari. Nikotin yang terdapat di dalam rokok bersifat toksik terhadap jaringan saraf, menyebabkan kenaikan tekanan darah sistolik dan diastolik, meningkatkan denyut nadi, meningkatkan kontraksi jantung sehingga pemakaian oksigen bertambah, aliran darah pada pembuluh koroner  meningkat, dan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh perifer yang dapat menyebabkan hipertensi. Nikotin meningkatkan kadar gula darah yang dapat menimbulkan penyakit diabetes melitus, meningkatkan asam lemak bebas serta kolesterol LDL yang memicu timbulnya hiperlipidemia, dan meningkatkan agregasi sel pembekuan darah (Mishra, A., et al 2015).
Pasien merupakan “moderate drinker”, kebiasaan minum alkohol pasien merupakan salah faktor penyebab kondisi medis pasien saat ini. Konsumsi alkohol secara rutin meningkatkan jumlah ROS yang merupakan salah satu penyebab disfungsi sel beta pankreas pada DM tipe 2. Peningkatan jumlah alkohol dalam darah meningkatkan apoptosis sel beta pankreas dan meningkatkan resistensi insulin di hati dan otot. Pada pasien DM tipe 2 kapasitas oksidasi lemak menurun sehingga meningkatkan jumlah asam lemak bebas dalam darah yang menyebabkan hiperlipidemia (Soo-Jeong & Dai-Jin, 2012). Kondisi hiperinsulinemia meningkatkan aktivitas Renin Angiontensin Aldosteron System sehingga terjadi retensi ion natrium oleh aktivitas aldosteron dan terjadi vasokonstriksi oleh aktivitas angiotensin II. Peningkatkan RAAS menyebabkan peningkatan volume retensi cairan berujung terjadinya hipertensi yang dijelaskan dalam gambar 3 dan 4 (C, Sampanis & C, Zamboulis, 2008).

Gambar 3. Hubungan hiperinsulinemia dengan hipertensi dan hiperlipidemia


Gambar 4. Hubungan aktivitas RAAS dan hipertensi
D.      Plan and Evaluation
1.     Farmakologi
Tujuan dari terapi farmakologi yaitu untuk menormalkan tekanan darah, gula darah, dan profil lipid pasien serta untuk mencegah terjadinya Coronary Heart Disease (CHD). Dilihat dari tekanan darah, kadar gula darah, dan profil lipidnya, dalam 10 tahun pasien berisko 20% terkena penyakit CHD.
1.1  Hipertensi
Pasien menderita hipertensi dengan diabetes dengan diabetes melitus tipe 2, maka target tekanan darah menurut JNC7 yang harus dicapai setelah terapi yaitu sebesar < 130/80 mm Hg. Algoritma terapi hipertensi menurut JNC7 yaitu sebagai berikut:

Gambar 5 Algorittam terapi hipertensi menurut JNC7


Gambar 6 Algoritma terapi hipertensi dengan diabetes menurut JNC8

Walaupun JNC7 dan JNC8 merekomendasikan diuretik tiazid sebagai fisrt line drug untuk terapi hipertensi, adanya diabetes melitus tipe 2 menyebabkan peningkatan aktivitas RAAS sehingga pemilihan ACEi merupakan pilihan yang lebih baik. ACEi akan menginhibisi angiotensin I menjadi angiotensin II yang merupakan vasokonstriktor kuat dan stimulus aldosteron. Inhibitor ACE juga mencegah sintesis senyawa vasokonstriktor lainnya seperti prostaglandin E2 dan prostasiklin. Dalam kasus ini dokter memutuskan memberikan ACEi untuk terapi hipertensi tahap 1 pasien namun tidak disebutkan jenis ACEi dan berapa dosisnya. Salah satu ACEi yang dapat diberikan yaitu lisinopril.
1.    Lisinopril
Dosis 2,5 mg/hari ditingkatkan menjadi 10 mg/hari diminum setelah/sesudah makan pada pagi hari.
Setelah 3 bulan, tekanan darah pasien menurun dari 152/96 mm Hg menjadi 147/91 mm Hg. Pasien mengakui kadang lupa meminum obatnya dan hanya sedikit melakukan modifikasi gaya hidup. Dia menyadari resiko dari kondisinya saat ini, namun karena dia tidak merasakan gejala apapun jadi dia berpikir tidak perlu berhenti merokok dan minum, menurunkan berat badan, dan menerapkan diet rendah natrium.
Target pengobatan hipertensi pasien belum mencapai 130/90 mm Hg, dokter berinisiatif menambahkan diuretik sebagai agen antihipertensi tambahan. Sebenarnya dokter bisa mengkombinasikan ACEi dan Calsium Chanel Blocker, ACEi  bekerja pada sistem RAAS dan CCB menurunkan kontraktilisitas otot pembuluh darah sehingga menurunkan resisntesi periferal total. Namun, dalam kasus ini dokter memutuskan terapi pasien dengan kombinasi ACEi dan diuretik tiazid.
1.      Lisinopril
Dosis : 5 mg/hari diminum setelah/sesudah makan pada pagi hari.
2.    Hidrochlortiazide
Dosis 12,5 mg per hari diminum pagi sebelum atau setelah makan.
1.2  Diabetes Melitus tipe 2
Target terapi diabetes melitus pasien yaitu kadar gula darah puasa <100 mg/dL dan HbA1c < 6,7%. Fisrt line drug dalam terapi pengobatan diabetes melitus tipe 2 antara lain sebagai berikut:

Gambar 7 Algoritma terapi diabetes melitus tipe 2
Dalam kasus ini dokter memberikan metformin kepada pasien sebagai first line drug namun di dalam jurnal tidak disebutkan berapa dosis yang digunakan. Metformin menghambat proses glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa jaringan.
1.    Metformin
Dosis inisial 500 tiap 12 jam atau 850 mg perhari, ditingkatkan tiap 2 minggu.
Dosis pemeliharan yaitu 1500-2250 mg perhari, dibagi tiap 8-12 jam.
Setelah 3 bulan terapi, terjadi penurunan kadar gula darah puasa pasien dari 138 mg/dL menjadi 96 mg/dL dan hasil pengujian HbA1c pasien yaitu sebesar 6,7%. Sehingga dapat dikatakan bahwa terapi diabetes melitus tipe 2 pasien dengan metformin telah mencapai target terapi.
1.3  Hiperlipidemia
Mengingat pasien menderita diabetes melitus tipe 2 dan resiko 20% penyakit CHD, maka target terapi hiperlipidemia yang ingin dicapai yaitu LDL-c <100 mg/dL (NCEP, 2004). Firts line terapi untuk hiperlipidemia menurut CPHCS Care Guide (2011) yaitu sebagai berikut:

Gambar 8 Algoritma terapi hiperlipidemia
Golongan statin efektif menurunkan kadar kolesterol total dan LDL dan merupakan terapi utama untuk mayoritas pasien hiperlipidemik. Statin adalah inhibitor HMG KoA reduktase yang memblok sintesis kolestrol. Dokter memberikan obat anti hiperlipidemia golongan statin (Atorvostatin) untuk menurunkan profil lipid pasien. Selain dengan pemberian statin, pasien juga harus menjalankan perubahan pola hidup

1.    Atorvostatin
Dosis 10 mg perhari obat diminum setelah atau sebelum makan (malam hari)
Tiga bulan setelah terapi pasien mengalami penurunan profil lipid, namun belum mencapai target pengobatan. Mengingat pasien menderita diabetes melitus tipe 2 dan resiko terkena CHD, maka dokter meningkatkan dosis atorvostatin dengan tujuan agar target terapi tercapai.

2.    Atorvostatin
Dosis 20 mg perhari obat diminum setelah atau sebelum makan (malam hari)




Drug Related Problem dalam Kasus 1
Pasien dengan hipertensi, diabetes metitus tipe 2, dan hiperlipidemia dalam kasus ini menerima 3 macam obat (ACEi, metformin, dan statin) dalam pengobatan awalnya. Tiga bulan kemudian pasien kembali datang ke dokter, dari hasil evaluasi, pengobatan dengan ketiga obat tersebut berhasil mencapai target terapi diabetes melitus tipe 2, namun belum mencapai target terapi hipertensi dan hiperlipidemia. Dokter menambah diuretik tiazid dalam terapi pasien dan meningkatkan dosis statin. Untuk mencegah pasien mengalami kegagalan terapi dan kejadian DRP yang dapat merugikan pasien maka dilakukan analisis DRP antara lain: indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, ketidaktepatan pemilihan obat, kelebihan dosis obat, interaksi obat, efek samping obat, dan kegagalan pasien menerima terapi.

Analisis DRP:
1.       Indikasi tanpa obat
Tidak ditemukan indikasi tanpa obat dalam kasus ini.

2.       Obat tanpa indikasi
Tidak ditemukan indikasi tanpa obat dalam kasus ini.

3.     Ketidaktepatan pemilihan obat
Ketidaktepatan pemilihan obat pada pasien artinya ada pemberian obat yang tidak efektif, seperti produk obat tidak efektif berdasarkan kondisi medisnya atau obat bukan paling efektif untuk mengatasi penyakit. Obat-obat yang dipilih mengikuti first line drug dan algoritma terapi penyakit hipertensi, diabetes melitus tipe 2, dan hiperlipidemia. Tidak ditemukan ketidaktepatan pemilihan obat dalam kasus ini.



4.       Dosis obat kurang dan berlebih
Dalam kasus ini tidak disebutkan berapa dosis ACEi dan metformin yang digunakan. Namun, apabila dokter memberikan dosis obat-obat tersebut dalam jumlah dan range dosis lazimnya maka dapat dikatakan tidak terjadi kekurangan dan kelebihan dosis obat. Mengingat kondisi organ pasien dalam keadaan baik  maka tidak perlu dilakukan penyesuaian dosis. Dosis atorvostatin pada awal terapi yaitu sebesar 10mg perhari kemudian ditingkatkan menjadi 20 mg perhari, peningkatan dosis tersebut tidak melebihi pemakaian maksimal (>80 mg/hari). Dokter menambahkan diuretik tiazid dalam pengobatan sehingga perlu dilakukan penurun dosis ACEi agar tidak terjadi hipotensi pada pasien.

5.       Interaksi obat
Obat A
Obat B
Tingkat
Interaksi
Hydrochloro-thiazide
Metformin
Minor / tidak signifikan


Hydrochlorothiazide akan meningkatkan efek metformin melalui mekanisme kompetisi klirens tubular ginjal.

** Interaksi tidak signifikan, selagi tetap dilakukan pengawasan terhadap kadar gula darah pasien maka tidak perlu dilakukan pergantian obat. Interkasi dapat dihindari dengan memberi jeda pada pemakaian kedua obat.

6.     Efek samping obat
Dalam kasus ini tidak ditemukan kejadiaan efek samping obat.


Saran

Walaupun pasien menyadari risiko dari tiga penyakit yang dia derita, namun pasien menganggap dirinya baik-baik saja sehingga tidak melakukan modifikasi gaya hidup, berhenti merokok dan minum alkohol, serta menerapkan diet rendah natrium. Agar terapi farmakologi yang dijalankan pasien dapat mencagai target pengobatan maka pasien hendaknya terus diberi pengertian mengenai hubungan merokok dan kebiasaan minum alkohol terhadap penyakitnya dan manfaat modifikasi gaya hidup dan diet tersebut. Adapun terapi non farmakolgis yang dapat dilakukuan oleh pasien antaralain:
1.     Pengaturan diet rendah natrium, kadar natrium yang tinggi dapat menyebabkan meningkatnya retensi cairan. Sehingga dengan membatasi asupan natrium diharapkan rentensi cairan berkurang dan tekanan darah menurun.
2.     Berhenti merokok dan minum alkohol.
3.     Menurunkan berat badan.
4.     Menbatasi diet tinggi lemak.


DAFTAR PUSTAKA

Abtahi, F., et al. 2011. Correlation between Cigarette Smoking and Blood Pressure and Pulse Pressure among Teachers Residing in Shiraz, Southern Iran. Iranian Cardiovascular Research Journal, 5: 3.

America Diabetes Association. (2008). Standard of Medical Care in Diabetes. America:  America Diabetes Association.

Anonim. Case Study A 49 Year Old African American Man with Stage 1 Hypertension. Available at: www.practicingclinicians.com.

C, Sampanis & C, Zamboulis. (2008). Arterial Hypertension in Diabetes Melitus: from Theory to Clinical Practice. Hippokratia Quarteriy Medical Journal, 12: 74-80.

Dipiro, J.T., et al. (2005). Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach. USA: The Mc. Graw Hill Company.

Koda Kimble, M.A., Carlisle B.A., & Kroon, L.A. (2005). Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs. Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins.

Mishra, A., et al. (2015). Harmful Effect of Nicotine. Indian Journal of Medical and Paediatric Oncology, 36 : 24-31.

National Instituti for Health and Clinical Excellence. (2006) Hypertension, Management of Hypertension in Adult in Primary Case. London: NICE.

National Cholesterol Education Program. (2001). ATP III Guidelines At-A-Glance- Quick Desk Reference. US: Departement of Health and Human Services.
National High Blood Pressure Education Program. (2003). JNC 7 Express. US: Departement of Health and Human Services.

National High Blood Pressure Education Program. (2014). JNC 8 Express. US: Departement of Health and Human Services.


Soo-Jeong, K & Dai-Jin, K. (2012). Alcoholism and Diabetes Melitus. Diabetes and Metabolism Journal, 36 : 108-115.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Followers

Twitter Updates