Case 1
(National
Prescribing Service Limited Results Case Study 38: Management of Ischaemic
Heart disease)
John seorang pria berusia 60
tahun datang ke klinik. Dia memiliki riwayat penyakit hipertensi (20 tahun) dan
angina (2 tahun). John merupakan perokok berat, 30 batang rokok perhari selama
48 tahun, namun dia berhenti merokok sejak 9 bulan yang lalu. Dia tidak
memiliki riwayat pendaharan gastrointestinal dan tidak memiliki riwayat alergi.
Satu tahun yang lalu keterangan dari general
practioner (dokter umum) melaporkan bahwa john memilikin non ST segment elevation myocardial
infarction (NSTEMI), John menjalani percutaneous transluminal coronary
angioplasty dan insersi stent pada arteri koroner kiri. Setelah keluar dia
mengikuti program rehabilitasi jantung selama 6 bulan di rumah sakit tersebut.
Setiap hari dia berjalan kaki selama 40 menit dan tidak ditemukan angina.
Pengobatan yang sekarang John
dapatkan yaitu aspirin 100 mg perhari, clopidrogel 75 mg perhari, perindopril 4
mg perhari, simvastatin 20 mg perhari. John kurang memahami tujuan dari terapi
yang dia dapatkan dan dia mengakui bahwa dia tidak selalu meminum obatnya.
Hasil pemeriksaan fisik tekanan darah Johm 145/85 mm Hg, denyut nadi 80/ menit,
tidak ditemukan aukultasi. Hasil echocardiogram enam bulan yang lalu menunjukan
tidak ada gagal jantung. BMI 23,5 kg/m2. Hasil uji laboratorium enam
bulan yang lalu menunjukkan hasil sebagian besar normal, namun perlu
diperhatikan kadar kolestrol total 5,5 mmol/L, LDL-c 3,9 mmol/L, HDLc 0,8
mmol/L, dan trigliserida 1,8 mmol/L.
Analisis
SOAP
A.
Subjek
John pria berusia 60 tahun
1. Patien
medical history
-
Hipertensi (sejak 20 tahun yang lalu)
-
Angina (2 tahun)
-
non
ST segment elevation myocardial infarction (NSTEMI) (1 tahun yang lalu)
-
percutaneous
transluminal coronary angioplasty (1 tahun yang lalu)
-
insersi stent pada arteri koroner kiri
(1 tahun yang lalu)
2. Social
history
-
Mantan perokok berat (30 batang rokok
perhari berlangsung selama 48 tahun)
-
Berhenti merokok sejak 9 bulan yang
lalu.
3. Medication
history
-
Aspirin 100 mg perhari
-
Clopidrogel 75 mg perhari
-
Perindopril 4 mg perhari
-
Simvastatin 20 mg perhari
4. Physical
examination
-
BMI :
23,5 kg/cm2
-
P :
80/menit, tanpa ditemukan aukultasi
-
BP :
145/85 mm Hg
B.
Objek
Data laboratorium enam bulan yang
lalu
Nilai
uji
|
Nilai
normal
|
|
Kolestrol
total
|
5,5
mmol/L
|
<
5,18 mmol/L
|
LDL-c
|
3,9
mmol/L
|
<
3, 36 mmol/L
|
HDL-c
|
0,8
mmol/L
|
> 0,91 mmol/L
|
Trigliserida
|
1,8
mmol/L
|
<1,8
mmol/L
|
C.
Assesment
Dari data yang
diberikan, diketahui pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi selama 20
tahun, angina 2 tahun yang lalu, non ST
segment elevation myocardial infarction yang ditangani dengan percutaneous transluminal coronary
angioplasty dan insersi stent pada
arteri koroner kiri 1 tahun yang lalu.
Penyakit jantung
koroner merupakan penyumbatan pembuluh arteri koroner jantung akibat
pembentukan plaque (artherosklerotik)
mengakibatkan suplai darah berkurang sehingga suplai oksigen ke pembuluh darah
jantung berkurang, apabila kondisi ini tidak ditangani bisa berujung kepada iskemik myocardia. PJK yang progresif
akan menyebabkan terjadinya sindrom koroner akut (SKA). Manifestasi SKA dapat
berupa angina pektoris tidak stabil/APTS, Non-ST elevation myocardial
infarction (NSTEMI) atau ST elevation myocardial infarction (STEMI).
NSTEMI merupakan
infark miokardium tanpa elevasi segmen ST. NSTEMI disebabkan aliran darah koroner menurun secara
mendadak atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh
obstruksi koroner. NSTEMI terjadi kerena trombosis akut atau proses
vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner di awali dengan
adanya ruptur plak yang tidak stabil. Obstruksi sebagian arteri koroner menyebabkan
nekrosis jaringan miokardium yang biasanya terbatas pada daerah subendokardium
(Gambar 2). Keadaan ini tidak dapat menyebabkan elevasi segmen ST. Gambar 1
menunjukkan perbedaan ECG STEMI dan NSTEMI.
Gambar
2. Ilustrasi jantung yang mengalami NSTEMI
Lima faktor
terpenting yang dimulai dari riwayat klinis yang berhubungan dengan adanya PJK,
diurutkan berdasarkan kepentingannya adalah;
1. Adanya
angina (2 tahun yang lalu mengalami angina)
2.
Riwayat
PJK sebelumnya
3.
Jenis
kelamin (pria lebih berisiko terkena PJK)
4. Usia
(Pasien memasuki usia lanjut, berhubungan dengan
penurunan fungsi organ)
5. Adanya
penyakit seperti diabetes, hipertensi, obesitas, hiperlipidemia, merokok, minum
alkohol, serta kurangnya ativitas fisik berpengaruh 80% terhadap munculnya PJK (Pasien mengidap hipertensi dan merupakan perokok berat
selama 48 tahun)
Pasien menderita hipertensi selama 20 tahun, hipertensi yang
terjadi dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga suplai darah
ke jantung pasien berkurang yang dapat berujung nekrosis jaringan miokardium.
Penyakit hipertensi, angina, dan NSTEMI yang diderita pasien dapat disebabkan
oleh kebiasaan merokok pasien. Diketahui pasien merupakan perokok berat selama
48 tahun, dan baru berhenti merokok 3 bulan setelah operasi dilakukan. Di dalam
rokok terdapat nikotin yang merangsang produksi adrenalin, noradrenalin, dan
hormon-hormon lainnya yang akan membuat jantung berdenyut lebih keras, kencang,
dan cepat. Kedaan ini dapat menyebabkan tekanan darah naik dan menambah
kebutuhan jantung akan oksigen. Selain itu, rokok juga mengandung karbon
monoksida yang cenderung berikatan dengan hemoglobin dalam darah pasien dan
membentuk karboksihemoglobin yang menyebabkan berkurangnya pasokan oksigen ke
otot-otot jantung. Baik nikotin maupun karbon monoksida dapat menyebabkan
keping-keping darah menjadi lebih lengket dan mudah mengalami penggumpalan,
sehingga memperbesar risiko terjadinya trombosis. Berdasarkan data yang
diberikan pasien, dapat disimpulkan bahwa merokok dan hipertensi merupakan
faktor penyebab terjadinya angina yang berujung pada NSTEMI pasien.
Setahun yang lalu, pasien mengalami non
ST segment elevation myocardial infarction kemudian
pasien mendapatkan percutaneous
transluminal coronary angioplasty dan insersi stent pada arteri koroner kiri 1 tahun yang lalu (Gambar 3).
Gambar
3. Ilustrasi percutaneous
transluminal coronary angioplasty dan insersi stent pada arteri koroner
Percutaneous transluminal coronary angioplasty dan
insersi stent pada arteri koroner
merupakan prosedur yang paling umum mengatasi penyakit arteri koroner. Prosedur
ini dianggap non-bedah karena hanya melibatkan dokter spesialis (cardiologist),
dilakukan dengan cara insersi balon dan stent ke dalam arteri yang bertujuan
untuk mengatasi plak di dalam pembuluh darah.
Setelah proses insersi dilakukan balon dan stent dilakukan, pasien
mendapatkan terapi aspirin 100 mg perhari, clopidrogel 75 mg perhari, perindopril
4 mg perhari, dan simvastatin 20 mg perhari. Pemberian obat-obatan tersebut
dilakukan untuk mencegah terjadinya NSTEMI dan gagal jantung.
D.
Plan
Tujuan dari
terapi jangka pendek dari NSTEMI adalah untuk mengurangi dan mencegah iskemik.
Tujuan jangka panjang dari terapi adalah untuk mencegah terjadinya PJK dan SKA
yang dapat berujung gagal jantung serta untuk memperpanjang massa hidup pasien. Adapun algoritma terapi NSTEMI
menurut ACC/AHA UA/NSTEMI Guidelines tahun 2007 sebagai berikut:
Keterangan :
-
ASA :
Acetylsalisilic acid (aspirin)
-
GP IIb/IIIa : Glycoprotein
IIb/IIIa
-
LOE :
Low of evidence
-
UHF :
Unfractionated heparin
Menurut
Coronary Artery Disease Treatment Guide (2009) penyakit arteri koronari dapat
diatasi dengan cara berikut:
1. Mengurangi
faktor resiko pencetus munculnya penyakit
2. Terapi
farmakologi
3. Interventional procedures;
PTCA, stent, coronary artery bypass graft
(CABG) surgery, transmyocardial laser revascularrization
(TMR), dan enhanced external
counterpilsation (EECP)
Menurut Guidelines for management
of unstable angina and NSTEMI adalah sebagai berikut:
1. Oksigen;
diindikasikan untuk pasien yang mengalami hipoksia.
2. Aspirin;
300mg aspirin kemudian dilanjutkan 75-150 mg perhari. Aspirin bekerja dengan
cara menekan pembentukan tromboksan A2 dengan cara menghambat siklooksigenase
di dalam platelet (trombosit) melalui asetilasi yang ireversibel sehingga menghambat agregasi
trombosit melalui jalur tersebut. Sebagian dari keuntungan ASA dapat terjadi
karena kemampuan anti inflamasinya, yang dapat mengurangi ruptur plak.
3. Morfin
4. Nitrat;
untuk mengatasi nyeri, CHF, dan hipertensi. Dosis inisial nitrat yaitu
10mcg/min melalui iv.
5. Beta
bloker; kurang dipilih dalam terapi UA dan NSTEMI karena kontraindikasinya
(asma, BP sistol <110 mmHg, P < 50 min)
6. Calcium
chanel blocker; bukan terapi first line.
Amlodipin atau felodipine disarankan untuk pasoen dengan LV fungsi yang buruk.
7. Clopidogrel;
dapat diberikan pada pasien UA dan NSTEMI, dosis inisial 300 mg dan diteruskan
menjadi 75 mg per hari selama 3 bulan. Obat ini juga merupakan derivat
tienopiridin yang lebih baru bekerja dengan menekan aktivitas kompleks
glikoprotein IIb/IIIa oleh ADP dan menghambat agregasi trombosit secara
efektif.
8. Heparin
9. Enoxaparin
10. Unfractionated
heparin
11. Tirofiban
12. ACEI;
Angiotensin bekerja sebagai hormon sistemik, hormon lokal jaringan, dan sebagai
neurohormonal susunan saraf pusat.ACEI bekerja dengan cara menghambat enzym ACE
secara kompetitif melalui ikatan pada active catalytic enzyme tersebut,
dengan demikian akan terjadi hambatan perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II. Hambatan tersebut selain terjadi pada sirkulasi sistemik juga
terjadi pada ACE jaringan yang dihasilkan oleh sel-sel endotel jantung, ginjal, otak
dan kelenjar adrenal. ACEI juga berperan dalam menghambat degradasi bradikinin,
yang merupakan vasodilator. Secara garis besar obat ACEI mempunyai efek
kardioprotektif dan vaskuloprotektif terhadap jantung dan vaskular. Pada
jantung,
ACEI efeknya dapat menurunkan afterload dan preload, menurunkan massa ventrikel
kiri, menurunkan stimulasi simpatis, serta menyeimbangkan kebutuhan dan suplai
oksigen. Pada vaskular,
ACEI dapat berefek antihipertensi, memperbaiki kelenturan arterial, memperbaiki
fungsi endotel, antitrombogenik langsung, antimigrasi dan antiproliferatif
terhadap sel otot polos, neutrophil dan sel mononuclear, antitrombosit, dan
meningkatkan fibrinolisis endogen.
13. Statin;
dapat memperbaiki fungsi endotel (RICIFE trial), menstabilkan plak,
mengurangi pembentukan trombus, bersifat anti-inflamasi, dan mengurangi
oksidasi lipid (pleotrophic effect). Sekarang ini pemberian obat
hipolipidemik atau golongan statin merupakan salah satu strategi yang sedang
berkembang pada pengobatan SKA secara optimal.
Kejadian
koroner sering terjadi dalam beberapa bulan setelah SKA. Dicapainya stabilisasi
klinik pasien tidaklah berarti bahwa proses patofisiologi yang mendasarinya
juga sudah tenang. Beberapa penyelidikan menemukan masih adanya kecenderungan
pembentukan trombin sampai 6 bulan setelah PTCA atau infark jantung. Dari
riwayat terapi pasien, pasien telah menjalani terapi interventional procedures yaitu dengan PTCA dan stent. Biasanya
aggregasi platelet dan trombosis yang tidak dapat dikendalikan lagi diatasi
revaskularisasi dengan PTCA dan stent. Setelah tindakan tersebut, pasien
mendapatkan tereapi sebagai berikut;
1.
Terapi
Farmakologi
Setelah menjalani PTCA dan insersi
stent, pasien mendapatkan terapi sebagai berikut:
Aspirin
Dosis
: 100mg perhari
Digunakan
untuk menghambat aggresi platelet
Clopidrogel
Dosis : 75 mg perhari
Digunakan sebagai anti platelet
Perindopril
Dosis : 4 mg perhari
Digunakan sebagai antihipertensi,
kardioprotektif, dan vaskuloprotektif
Simvastatin
Dosis :20 mg perhari
Digunakan sebagai antihiperlipidemia,
mengingat propil lipid pasien melebihi batas normal, maka perlu ditambahkan
simvastatin. Target kadar kolestrol pasien dengan IHD kolestrol total < 4
mmol/L dan LDL 2 mmol/L.
|
2.
Terapi
non farmakologi
Pasien menjalankan terapi
farmakologi yaitu sebagai berikut;
-
Berjalan kaki 40 menit perhari
-
Berhenti merokok
Pasien
dapat disarankan untuk :
-
Diet rendah kolestrol atau lemak dengan
saturari rendah.
-
Menjaga tekanan darah < 130/80 mm Hg.
-
Pasien diedukasi mengenai tujuan dari
terapi dan pentingnya terapi yang diberikan kepadanya.
-
Pasien dijelakan mengenai pentingnya
mengurangi risiko SKA.
-
Taat dan patuh terhadap terapi yang
diberikan.
Drug
Related Problem dalam
Kasus 1
Analisis DRP:
1.
Indikasi
tanpa obat
Dalam kasus ini tidak ditemukan
indikasi penyakit yang tidak diobati.
2.
Obat
tanpa indikasi
· Dalam
kasus ini, pemberian clopidrogel 75 mg/ hari sebaiknya dihentikan. Pemberian kombinasi
clopidrogel dan aspirin dosis rendah pasca PTCA dan stent disarankan selama 12
bulan. Setelah itu, maintenance
terapi disarankan dengan hanya menggunakan aspirin dosisi rendah.
· Beta
bloker sebaiknya diberikan kepada pasien yang pernah mengalami infark
miokardiak untuk menurunkan morbiditas dan martalitas. Atenolol 50 mg/hari,
metoprolol 50-100 mg dua kali sehari, dan propanolol 80 mg dua kali sehari
merupakan pilihan beta bloker yang biasa diberikan untuk maintenance.
3.
Ketidaktepatan
pemilihan obat
Tidak ditemukan ketidaktepatan
pemilihan obat.
4.
Dosis
obat kurang atau berlebih
Dosis maintenance aspirin yaitu
81-325 mg/ hari, dalam kasus diberikan 100 mg/hari. Dosis clopidrogel yang
disarankan selama 12 bulan pasca PTCA dan stent adalah 75 mg/hari. Dosis perindopril
yang biasanya diberikan yaitu 4-8 mg/hari, dalam kasus diberikan 4 mg/hari.
Dosis obat yang diberikan tidak kurang dan tidak berlebih.
5.
Interaksi
Obat
Obat A
|
Obat B
|
Tingkat
|
Interaksi
|
Aspirin
|
Clopidrogel
Perindopril
|
Signifikan
Signifikan/ monitor dengan
ketat
|
Aspirin dan clopidrogel
meningkatkan toksisitas keduanya melalui mekanisme sinergisme farmakodinamik.
** Gunakan aspirin dosis rendah
dan lakukan monitoring.
Aspirin dan clopidrogel
meningkatkan toksisitas keduanya. Aspirin menyebabkan penurunan efek dari
perindopril melalu mekanisme antagonis farmakodinamik.
** Gunakan aspirin dosis rendah
dan lakukan monitoring.
|
6.
Efek
samping obat
Dalam kasus ini
tidak ditemukan kejadiaan efek samping obat.
DAFTAR PUSTAKA
American College of Cardiologi. (2007).
ACC/AHA Guidelines for The Management of Patient with Unstable Angina/Non ST
Elevation Myocardial Infarction – Executive Summary. Tersedia pada http://content.onlinejacc.org/article.aspx?articleid=1138394
Anonim. (2009). Coronary Artery Disease
Treatment Guide. Sydell and Arnold Miller Family, Heart and Vascular Institute.
Departemen Kesehatan. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner: Fokus
Sindrom Koroner Akut. Departeman Kesehatan.
Natinal Institute for Health and Clinical Excellence Clinical
Guideline. (2007). Secondary prevention in primary and secondary care for
patients following a myocardial infarction. London: NICE. COMMIT collaborative
group. Addition.
National
Prescribing Service. (2005). Case Study
38: Management of Ischaemic Heart Disease. Australian Organisation for
Quality Use of Medicines, National Prescribing Service.
Wells,
B.G., Joseph T.Dipiro., Terry L.Schwinghammer and Cecily V. Dipiro. (2009). Pharmacotherapy Handbook 7th
Edition. United States: McGraw-Hill Company.
Yulinah, Elin., A, Retnosari., Sigit, Joseph.,
Adnyana, I., Setiadi, A., Kusnandar. (2009).
ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.
0 komentar:
Posting Komentar